OPINI- Kami lahir dari laut, kami tumbuh di sebuah kampung kecil bernama Lehawata. Di kampung itu kami menanam arti kehidupan, arti perjuangan dan menjadi tempat membagi assa dan harapan.
Di sana, di antara gelombang dan garis pantai, kami dibesarkan oleh tangan-tangan kasar yang terlatih menarik jaring, tangan para nelayan yang kami panggil ayah.
Di Lehawata, laut bukan hanya tempat bekerja. Ia adalah halaman rumah, sekolah pertama, dan tempat kami belajar membaca arah hidup. Sejak kecil kami sudah akrab dengan suara ombak dan bau ikan segar. Kami tahu bahwa waktu subuh bukan dimulai dari azan, tapi dari bunyi mesin perahu ayah yang dinyalakan sebelum langit benar-benar terang. Kami tahu kapan ikan muncul, kapan badai datang, dan di mana harus melempar jaring tanpa banyak bicara.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagian kecil dari kami adalah nelayan. Mereka berangkat melaut dengan perahu kayu sederhana, tanpa radar, tanpa jaminan. Mereka membawa harapan, dan pulang membawa hasil tangkapan jika laut sedang baik. Ikan, udang dan kerang, semua itu menjadi sumber utama kehidupan. Kami makan dari laut, kami sekolah dari laut dan laut menjadi bagian dari kami.
Kini laut tidak lagi seperti dulu, musim kini sulit ditebak, angin datang tiba-tiba dan hasil tangkapan semakin sedikit. Banyak tempat yang dulunya kaya akan ikan kini terasa sunyi. Ayah-ayah kami harus melaut lebih jauh, lebih lama, dan sering pulang dengan tangan kosong. Kami melihat sendiri bagaimana wajah-wajah mereka tertatap diam dan di dalam mata mereka jauh menyimpan lelah dan kasih cinta.
Kami tahu ada sesuatu yang berubah dari laut. Kami membaca dan banyak melihat kejadian tentang laut yang dirusak, tentang praktik tangkap yang tidak ramah dan menghancurkan ekosistem tempat ikan bertelur. Kami tidak ingin menunjuk siapa pun, kami hanya ingin agar laut kembali seperti dulu. Hidup, bersih, dan memberi.
Di kampung Lehawata, kini banyak hal perlahan dimakan waktu. Kami bukan mengeluh tetapi bersaksi bahwa jutaan mata kian mengangga dan lupus dengan harapan.
Ada banyak anak-anak nelayan yang kini jadi mahasiswa, seperti saya yang membawa cerita dari perahu ke kampus, dari dermaga ke ruang diskusi dan dari kampung ke masa depan.
Suatu hari nanti, akan banyak dari kami yang kembali ke kampung. Membangun dari apa yang kami pelajari di luar dan kami tahu akar kami tidak pernah pergi. Ia tertanam di pasir pantai kampung Lehawata. Tempat kami pertama kali belajar bahwa hidup bukan tentang memiliki banyak, tapi tentang bertahan dengan harga diri.
Kami tidak menuntut banyak, kami hanya ingin terus bisa melaut. Kami hanya ingin laut tetap menjadi rumah yang memberi, bukan menjadi ruang yang kian sunyi.
Penulis: Ahkam Kurniawan Buamona
(Mahasiswa STAI Babusalam Sula)