Mantan Ketua BEM Hukum Ummu Muhlis Buamona, SH.
SANANA,Lokomalut.com- Penyidik Sat Reskrim Polres Kepulauan Sula, tidak secara baik memahami konsep Restorative Justice (RJ), yang tertuang dalam Peraturan Polisi (Perpol) Republik Indonesia No. 8 tahun 2021.
Pasalnya, kasus penganiayaan atau pengeroyokan terhadap oknum Panwas Desa Kabau Pantai, sifatnya delik aduan, dalam hal ini apabila korban sudah mau menempuh perdamaian Restorative Justice (RJ), kiranya jangan di Halang-halangi untuk teralisasinya perdamaian antara pelaku dan korban tersebut.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal ini disampaikan langsung Mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (Ummu) Muhlis Buamona, SH. kepada Lokomalut.com. Rabu, (8/1/2025).
Muhlis membantah sikap Kasat Reskrim Polres Kepulauan Sula IPTU Rinaldi Anwar yang tampaknya tak mengindahkan permintaan Perdamaian atas kasus pengeroyokan terhadap salah satu panwas desa Kabau Pantai Hamsa Masuku.
Padahal, kata Muhlis, peristiwa yang dialami oleh saudara Hamsa Masuku itu, telah di sepakati bersama, baik korban maupun pelaku untuk RJ, namun tak diindahkan.
“Ingat, Perpol 8 tahun 2021 iyalah pemulihan keadaan semula bukan berwatak pembalasan seperti penegakan Hukum jaman Kolonial. Sementara kasus ini masuk dalam kualifikasi delik pengeroyokan dan delik aduan, Pasal 170 dan 351 KUHPidana yang mana korban sendiri yang mau mencabut laporan tersebut, kenapa harus di proses?,” tanya Muhlis.
Muhlis mengatakan, beberapa hari lalu, penyidik beralasan bahwa korban awalnya ngotot kasus ini harus diprose lalu kini menginginkan segera buat perdamaian.
“Secara kompetensi penyidik tidak boleh menghalangi hak korban dan pelaku untuk pengajuan Restoratif Jastice, karena itu aturan pun membolehkan,” tegasnya.
Sudah begitu, Lanjut Muhlis, pihak penyidik kurang memahami konsep keadilan. Dengan adanya Perpol nomor 8 tahun 2021 itu, sebagai bentuk keadilan dalam setiap kasus yang ditangani penyidik kepolisian.
“Alasan hukum dari Penyidik Sat Reskrim Polres Kapsul tidak tepat secara hukum. Sehingga publik bertanya-tanya ada apa sebanarnya?,” herannya.
Ia menyebutkan, alasan kasat Reskrim IPTU Rinaldi Anwar sangat tidak logis. Pasalnya, aturan kepolisian nomor 8 tahun 2021 tersebut, kiranya sangat jadi untuk dipedomani.
“Ada lagi komentar Pak Kasat Reskrim, bahwa kenapa tidak dari awal proses penyelidikan dan kami telah membuka ruang mediasi. Nah, ini kan sangat rancu dalam penegakan hukum. Sebagai penyidik harus pahami bahwa Perpol 8 tahun 2021 itu berlaku di tingkat kepolisian. Artinya, mau kasusnya pada tahapan penyelidikan atau penyidikan pelaku dan korban memilik hak untuk mediasi perdamaian. Dan sebagai penyidik ya wajib menjalankan. Itu menurut parpol 8 tahun 2021,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Muhlis menegaskan, bahwa korban yang kemudian menginginkan untuk menyelesaikan kasus tersebut secara damai, berdasarkan Permohonan Pencabuatan Laporan yang sudah di ajukan oleh korban ke pihak Porles Sula, pada tanggal 23 Desember 2024 lalu.
“Seharus sampai saat ini penyidik sudah buat panggilan pihak-pihak terkiat untuk memfasilitasi dan mediasi agar Konsep Restorative Justice dapat dilaksanakan,” pungkasnya mengakhiri. (Dona)